Monday, December 11, 2017

Coco (2017)

0

Tumbuh sebagai penggemar film animasi, terutama keluaran studio Pixar ini. Karena salah satu film karya mereka, Toy Story adalah film yang paling bersejarah terhadap masa kecil saya, selain Spiderman, yang ditayangin di televisi saat zaman yang katanya paling bahagia itu.



Dari Toy Story saya belajar kalo mainan juga punya perasaan, punya keresahan. Lalu digempur lagi sama film animasi Pixar lain yaitu Monster Inc. dan juga Cars. Ternyata monster sama mobil juga bisa ngomong. Sampe yang terakhir favorit yaitu Inside Out yang savage banget, perasaan punya perasaan. Jangan lupakan Zootopia yang makin ke sini Pixar jago bikin plot-twist. Ceritanya makin gak ketebak.


Ngomongin Pixar emang salah satu hal yang saya suka, apalagi beberapa bulan lalu habis khatam namatin buku biografi Steve Jobs yang ditulis Walter Isaacson, yang jelasin kalo beliau ternyata adalah salah satu founder studio animasi Pixar bareng dedengkotnya Pixar, John Lasseter. Jadinya makin kagum, makin gencar buat namatin semua film Pixar yang belom ketonton semua. Sampe di bikin list, Ratatouille yang belum dan gak pengin nonton jadi langsung nonton. Sampe film-film pendek buatan studio animasi Pixar dilalap habis, dari zaman pertama film Luxo Jr yang menceritakan lampu yang jadi logo Pixar sampe sekarang, gara-gara Luxo Jr, Pixar dapet nominasi Oscar untuk film animasi pertama tahun 1987. Kalo ngikutin perkembangannya sih untuk film-film pendek sekarang Pixar kebanyakan mempercayai anak-anak magangnya untuk ngasih mereka jam terbang.


Hadeuh, ngelantur kemana-mana ..


Coco seolah membangkitkan Pixar di tahun ini setelah gagal lewat Cars 3. Coco menawarkan hal baru yang mengajak kita mengenal tradisi Día de Muertos atau Day of the Dead di Mexico. Melalui Miguel si tokoh sentral, dia punya cita-cita ingin jadi musisi seperti tokoh idolanya Ernesto De La Cruz. Namun, sayang, keluarganya yang sejak turun temurun sangat mencintai bisnis sepatu, tidak mengizinkan Miguel untuk menyentuh dunia musisi, menyanyi satu nada pun tidak boleh. Satu cengkok pun bahkan tidak boleh. Di rumahnya pastinya gak ada Spotify, gak ada Musixmatch, gak ada Bigo Live. Neneknya Miguel pun galak pula. Kebayang, kan, keluarganya itu beuh, dari mulai bikin sepatu, jual sepatu, bahkan untuk magang anaknya disuruh nyemir sepatu. Tapi untungnya mereka gak beli sepatu ekspor, lho, for your information. Cintailah produk-produk dalam negeri.


Keluarga besar Miguel sangat mencintai bisnis sepatunya sejak akar keluarganya dulu, dan usut punya usut memang gak suka sama musik coz sejarah keluarga dulu-dulu-dulu banget yang pernah ada masalah sama yang namanya musik. Si Miguel gak suka sama kebiasaan keluarganya ini karena menurutnya musik adalah passion bruh


Coco adalah film yang manis rasa gula batu. Orang yang nonton film Coco tapi gak nangis itu lemah. Tapi, saya cuma reumbay (bahasa Sunda: nangis dikit) dikit di akhir (abis itu sesenggukan). Gimana gak nangis, saya disembur sama pesan-pesan yang mengingatkan saya akan keluarga saya. Jadi kangen soalnya lagi ngerantau. Selain itu, keinginan Miguel yang ingin jadi musisi tapi selalu dilarang bikin saya merenung. Hal-hal seperti kita selalu dilarang-larang sama keluarga tapi itu sesungguhnya punya niat baik, meraih suatu keinginan yang paling dalam di hidup kita, sampai hasrat untuk seenggaknya diingat sama orang lain, bikin saya bertanya-tanya apakah ada gitu orang yang kangen saya?


Remember me, though I have to say goodbye.. Remember me, don’t let it make you cry.. For even if I’m far away, I hold you in my heart..~~~

 

Diiringi musik ala-ala Mexico yang gembira kayak Un Poco Loco, sampe yang syahdu dengan petikan gitarnya yaitu Remember Me, sangat enak buat diikutin. Gak nyesel saya nonton di bioskop, ini pertama kalinya saya nonton film Pixar di bioskop dan sangat kagum, elegan banget pemilihan warna-warna untuk menggambarkan dunia kematian dengan sebuah kota bernama Land of the Dead yang katanya terinspirasi dari kota beneran di Mexico bernama City of Guanajuato. Harusnya sih nyeremin, ngomongin kematian, ngomongin tentang dunia setelah kehidupan manusia, Land of the Dead tapi dengan penggambaran unik serta ringan ala Pixar karena film ini diperuntukkan untuk semua umur plus pemilihan warna yang cerah dan warna-warni dihias dengan lampu-lampu kota ala-ala ini malah jadinya menyenangkan buat ditonton.



Film Coco kayaknya film yang diciptakan untuk keluarga. Dengan cerita yang seru, tentang keluarga, tentang impian, yang saya yakin dua hal tersebut adalah dua hal yang relate sama banyak orang. Betapa mengagumkannya Coco bisa menyeret saya untuk mengingat kembali siapa saja keluarga besar saya, sampe ke akar-akar. Meninjau kembali cerita apa yang nantinya bisa diceritain ke anak cucu saya. Mengumpulkan kembali foto-foto lama keluarga agar seterusnya bisa diingat dan tidak dilupakan.


We may have our differences, but nothing’s more important than family. -Miguel

 


Author Image

About Fauzy Husni
Mahasiswa psikologi yang hobi nonton, karena memiliki blog bolehlah disebut blogger. Senang bercerita, menulis tentang apa yang sudah ditontonnya dan apa yang sudah dipelajari di dunia fiksi atau dunia nyata.

No comments:

Post a Comment