Thursday, March 29, 2018

Ready Player One (2018)

0

This post is exactly posted on Indonesian National Film Day. I’m proud.


Sama kayak film Dilan, diangkat dari novel. Bedanya kalo film Dilan, ngangkatnya berat, biar aku saja, kalo ini agak ringan, soalnya sutradaranya sudah malang melintang di jagat perfilman dunia, kelas berat makanya ngangkatnya ringan.


Siapalagi kalo bukan Steven Spielberg.




Denger nama sutradaranya aja udah merinding, keingetan sama dinosaurus, ikan hiu, sepeda terbang. Ya, pasti yang masa kecilnya sering nonton bioskop Trans TV pasti familiar sama film Jurassic Park dan Jaws.


Steven Spielberg kali ini mencoba berfantasi pas Bumi berada di tahun 2045 yang sudah rapuh, kumuh, dan sudah bubarnya payung teduh, bikin misuh-misuh.


Dimana-mana polusi, berhamburan korupsi, dan juga perubahan iklim drastis akibat globalisasi yang berpotensi kepunahan, otomatis mengharuskan manusia untuk nyari pelarian dari dunia nyata yang udah kacau balau. Kayak semacam internet aja, dunia untuk pelarian ini juga bisa disebut dunia maya, kayak sebuah simulasi kehidupan dan dibikin manusia mungkin bahasa kerennya itu virtual reality, namanya OASIS (Ontologically Anthropocentric Sensory Immersive Simulation). Semacam virtual game or virtual reality gitulah yang didalamnya manusia bisa melakukan berbagai pekerjaan, ngelakuin apapun yang mereka inginkan, nyari pengalaman yang gak bisa didapetin di dunia nyata, hingga untuk sekedar hiburan.


WHAT THE HELL!! SO COOL!


Yang punya OASIS ini yang orangnya dikisahkan lebih jago dari Steve Jobs dan Steve Wozniak soal prestasinya, karena itu kan udah di masa lalu, namanya James Halliday dan Ogden Morrow, doi bikin sebuah sayembara namanya “Anorak’s Game” yang hadiahnya kepemilikan penuh OASIS dan juga harta kekayaannya senilai 500 Milliar Dollar. Kebayang lagi susah-susah hidup ada yang mau hibah. Ini orang yang acapkali kita puji dengan, “mantap boskuh!”


Kisahnya, bakal berpusat di seorang pemuda namanya Wade Watts (Tye Sheridan) yang sering mengunjungi OASIS dan hidupnya miskin, akan mencoba memenangkan sayembara tersebut.


Sumpah speechless abis nonton film ini. Kayak balik lagi ke masa kecil, nostalgila gitu bro. Filmnya itu bakal banyak berkutat di dunia virtual reality ciptaan Jim Halliday yaitu OASIS. Di OASIS nya itu kayak seolah-olah kita main game online dengan grafik ciamik khas Steven Spielberg dan dengan layar superbesar. Kebayang gimana rasanya. Rasanya itu kagum, sambil berbinar-binar, ceritanya pun seru abis, saking serunya kayak keluar dari tubuh ini dan tubuh saya ini kayak melayang masuk layar.


Keseruannya dimulai dari menit-menit awal, bisa dibilang film ini punya unsur petualangan, aksi, dan juga teka-teki yang gokil. Apalagi kalo kamu adalah pengamat sejarah pop culture, atau ya yang sering main games jadul, nonton film jadul, film ini bakal nyuguhin berbagai easter eggs yang sayang untuk dilewatkan, mulai dari film-film-nya Spielberg zaman dulu, monster-monster yang dulu terkenal, bahkan robot terkenal, barang-barang masa kecil kayak semacam mainan, mobil-mobilan, tembak-tembakan.


Tembak, tembakan. Hmm..


Adegan aksi di film ini pun gak kacangan. Kalo kamu suka sama film-film bertema balapan mobil. Film ini punya action balapan juga namun dengan tema dan rintangan yang aneh abis.


Terus, cara menangin balapan tersebut pun kayak harus mikir dulu gitu loh, riset dulu kayak gimana sama tokoh utamanya, gak sekedar balapan siapa cepat dia dapat.


Terus ada adegan dimana kita malah seolah masuk ke film lain. Gak cuma sekedar diputerin film lain itu tapi bener-bener masuk ke film itu! Gila gak tuch!


Dan juga ada adegan battle yang ngingetin saya sama adegan battle di Game of Thrones. Battle of Bastards!!!


Saya gak bisa bandingin film ini sama bukunya kayak gimana soalnya film ini diangkat dari novel karya Ernest Cline dengan judul yang sama. Tapi skenarionya film ini untungnya ditulis sama Ernest Cline sendiri dibantu sama Zak Penn yang mungkin kurang lebih imajinasi yang disampaikan tersalurkan dengan baik di versi filmnya ini.


Something like teknis penyutradaraan dari film ini malahan kayak sempurna banget. Jam terbang bikin semua terasa so smoothsszzz.


Spielberg memang udah gak bisa diragukan lagi, banyak banget seolah yang kayak film ini itu transisinya sangat lembut yang bahkan sampe gak kerasa kalo ada transisi dari satu adegan ke adegan yang lain.


Di samping itu, film ini seolah mengajarkan kita untuk menghormati tiga dimensi waktu. Past, Present, dan Future. Soundtrack dan easter eggs-nya yang jadul-jadul (Duran Duran, Van Hallen, A-Ha, dan lain-lain) mewakili Past, kita sebagai penonton berada dalam masa sekarang mewakili Present, dan juga Future-nya yang merupakan setting di film ini pada tahun 2045.


Kita pun jangan ngeremehin kalo masa depan juga kayaknya walaupun dari segi teknologi makin bagus tapi mungkin peradabannya malah makin buruk. Kayak kita lebih nyaman di dunia maya dan lupa kalo dunia nyata kita malah gak keurus. Ini tuh nampar banget gitu loh.


Tapi ada beberapa yang bikin kesel, sih, seolah film ini tetap masuk akal tapi sebenarnya itu dangkal banget. Kayak di perusahaan besar musuhnya si tokoh utama kok gak ada CCTV?


Terus, bisa-bisanya sistem keamanan pemimpin perusahaan tergeletak begitu saja dan dengan mudah disadari oleh si tokoh utama.


Dan kayak ada semacam pengen misuh “Nah, itu bisa dihancurin kok gak dari tadi aja dihancurin.” Mungkin Spielberg sama Cline ingin membuat film ini sederhana kali, ya, gak terlalu mikir keras banget, lah.

Author Image

About Fauzy Husni
Mahasiswa psikologi yang hobi nonton, karena memiliki blog bolehlah disebut blogger. Senang bercerita, menulis tentang apa yang sudah ditontonnya dan apa yang sudah dipelajari di dunia fiksi atau dunia nyata.

No comments:

Post a Comment